SOSIALISASI DAN DISEMINASI PERENCANAAN PENGEMBANGAN KAWASAN SEMPADAN SUNGAI BERBASIS KOMUNITAS DIY

Hampir semua peradaban besar dunia menjadikan sungai sebagai penyangga kehidupan utama mereka, baik untuk sumber air bersih, pertanian, maupun transportasi. Bangsa Mesir kuno mengenal sungai Nil, bangsa India sungai Gangga, dan masih banyak contoh lainnya, bahkan hingga memuja sungai dengan dewa-dewi mereka masing-masing. Tidak terkecuali Bangsa Indonesia, walaupun memiliki sungai yang tidak terlalu besar, bangsa kita tetap punya pandangan sama tentang sungai: pembawa berkah, penyangga kehidupan.

Gambar 1. Kondisi terkini kawasan permukiman Sungai Winongo

Namun yang terjadi sekarang berlawanan dengan kaidah sungai yang sebenarnya. Beberapa yang bisa dijadikan contoh, misalnya saja yang terjadi di DIY dengan 3 sungai utamanya yang padat penduduk: sungai Winongo, Code, dan Gadjahwong. Gambaran sungai yang disebut-sebut sebagai “nyawa sebuah peradaban” pun lenyap berganti dengan sampah, perumahan yang tidak tertata, dan lingkungan yang tidak bersih.

Berawal dari itu, pada hari Rabu tanggal 17 Juli 2013, bertempat di kantor PIP2B DIY, diadakan sosialisasi dan diskusi yang bertema, “Perencanaan Pengembangan Kawasan Sempadan Sungai Berbasis Komunitas”, dihadiri oleh beberapa pemangku kepentingan (stakeholder), baik dari komunitas masyarakat, akademisi, maupun pemerintah. Dari komunitas masyarakat diwakili oleh forsidas (Forum Komunikasi Daerah aliran Sungai) dari 3 sungai tersebut.

Dimulai pada pukul 09.00 WIB, acara pertama diisi oleh M.Mansur, Kepala Bidang Cipta Karya Dinas PUP-ESDM DIY. Beliau menyinggung permasalahan perencanaan permukiman dari sisi hukum, dimana dicantumkan dalam UU. No. 1 tahun 2011 pasal 2. Dalam pasal tersebut, beliau menekankan tentang asas kelestarian dan keberlanjutan dari perencanaan permukiman. Inti dari asas diatas adalah memperhatikan kondisi lingkungan hidup, dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang terus meningkat sejalan dengan laju kenaikan jumlah penduduk dan luas kawasan secara serasi dan seimbang untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Selain itu, aspek keselamatan, keamanan, ketertiban, dan keteraturan dari permukiman harus diperhatikan. Aspek-aspek di atas sangat penting diterapkan, apalagi dalam kawasan permukiman di sungai, yang realita yang terjadi sekarang adalah permukiman yang tidak tertata dan terkesan “kumuh”.

Gambar 2. Suasana acara sosialisasi dan diseminasi pengembangan kawasan sempadan sungai di gedung pertemuan PIP2B DIY

Setelah itu, pembicara yang kedua adalah bapak Ir. Darmanto, Dipl. HE MSc., yang merupakan Wakil Ketua DRD (Dewan Research Daerah) DIY. Beliau menuturkan kembali arti penting dari “keistimewaan” DIY, yang akhir-akhir ini sering dibicarakan. Keistimewaan menurut beliau, bukan hanya sekedar identitas budaya, lebih dari itu harus mempunyai prospek untuk menjadi contoh daerah lain didalam meraih cita-2 nya (futuristik), dan itu bertumpu pada perilaku masyarakatnya dalam menjaga dan mengisi kehidupannya dengan Budaya Adi Luhung. Visi beliau terkait dengan acara ini, adalah supaya pengelolaan sempadan sungai dan permukimannya bisa menjadi “pilot project” bagi daerah lain di Indonesia. Sebagai penambah motivasi beliau memberi contoh, yaitu Jepang. Pasca Perang Dunia II, negara ini yang dalam kondisi terpuruk, sekarang bisa menciptakan sumber air minum yang bagus, Jepang pun bisa kenapa kita tidak?

Acara terakhir, yaitu yang ketiga diisi oleh bapak Kuswijoyo fasilitator pemberdayaan masyarakat. Beliau menjelaskan tentang program yang sudah dan akan dikembangkan di Kelurahan Karangwaru, Kota Yogyakarta. Secara garis besar yang terjadi pada Kelurahan Karangwaru adalah “perubahan wajah”, dari yang tadinya kotor, kumuh, dan kebiasaan warga yang buruk terhadap lingkungan, berangsur-angsur berganti menjadi permukihan kawasan sungai yang ramah lingkungann. Untuk lebih detailnya mengenai proses “perubahan wajah” di desa Karangwaru ini, akan dibahas pasa sesi ke-2 pada tanggal 18 Juli 2013 di tempat yang sama.

Acara ini pun disambut dengan antusias oleh beberapa komunitas pemerhati sungai, yang dalam acara ini juga memaparkan permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan, di mana memang dibutuhkan kerjasama dari semua pemangku kementingan agar terjadi perubahan yang hanya seperti kembang api, hanya sekejap, tapi juga perubahan yang berkelanjutan.