Bencana Mengintai DIY.. Siapkah Kita?

Tahun 2016 beberapa jenis bencana menyapa masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa Yogyakarta yang terkenal dengan Gunung Merapi dibagian utara tidak hanya akrab dengan bencana erupsi gunung berapi dan gempa bumi. Pada tanggal 12 Maret 2016 bencana lain kembali melanda Kawasan Perkotaan Yogyakarta di Sleman, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul. Hujan deras di  Kecamatan Turi, Kecamatan Pakem dan Kecamatan Ngaglik  mengakibatkan beberapa sungai meluap dan menggenangi permukiman yang ada di sekitar sungai. Sebagian besar permukiman tersebut adalah permukiman kumuh. Jumlah Warga masyarakat yang terdampak sebanyak 5000 jiwa.

Aliran luapan air sungai kembali merusak permukiman pada tanggal 22 dan 23 Maret 2016, kali ini secara bergantian menerjang beberapa permukiman di sekitar Sungai Buntung (anak sungai winongo). Beberapa rumah warga di Kelurahan Kricak Kota Yogyakarta terkena dampaknya.

Gambar Dampak Banjir di Perkotaan Yogyakarta

Perubahan iklim ternyata sudah mulai tampak gejala-gejalanya. Pada tanggal 18 Juni 2016 yang seharusnya merupakan musim kemarau hujan deras yang merata hampir di bagian selatan Pulau Jawa kembali membawa dampak bencana di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Di Daerah Istimewa Yogyakarta terjadi kerusakan di beberapa wilayah Bantul dan Kulon Progo. Di Kabupaten Bantul kerusakan bangunan sungai akibat aliran air terjadi di kawasan Kecamatan Bambanglipuro dan Pandak. Kondisi terdampak cukup signifikan adalah di Kabupaten Kulon Progo. Sumber dari BPBD Kulonprogo menyebutkan setidaknya tujuh wilayah tergenang banjir, yaitu wilayah Kecamatan Wates, Temon, Panjatan, Lendah, Sentolo, Galur, dan Pengasih. Bencana tanah longsor terjadi di 5 kecamatan, di Kokap, Samigaluh, Girimulyo, Pengasih, Kalibawang.

Beberapa penyebab bencana banjir dan tanah longsor adalah perubahan penggunaan lahan. Beberapa aliran sungai di perkotaan tidak mampu menampung aliran sungai dari air hujan yang terkumpul dari saluran drainase karena adanya beberapa penyempitan adanya permukiman. Sedangkan tanah longsor terjadi karena adanya beberapa pola tanam masyarakat yang tidak sesuai dengan kontur tanah dan membahayakan permukiman.

Beberapa permasalahan tersbut menjadi pekerjaan semua stakeholder, baik pemerintah, swasta dan masyarakat. Permasalahan bencana banjir dapat diatasi dengan menormalisasi sungai dan menata kembali permukiman di bantaran sungai. Permukiman-permukiman tersebut harus ditata kembali agar masyarakat yang tinggal di bantaran sungai tidak terdampak. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah konsep mundur mungga madhep kali.  Konsep ini masih dalam tahapan perencanaan antara komunitas dengan pemerintah dalam hal ini Dinas PUP ESDM DIY. Masyarakat berharap konsep ini dapat diimplementasikan dan masyarakat akan mempunyai taraf hidup yang lebih baik dan tidak rentan terhadap bahaya banjir.

Sedangkan bencana tanah longsor dapat diatasi dengan konservasi. Bagaimana sebuah pola konservasi lahan dapat juga memberikan keuntungan bagi masyarakat dan masyarakat tidak mengganti jenis tanaman yang perakarannya kurang kuat. Masyarakat perlu berkoordinasi dengan Balai Besar Sungai Serayu Opak dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai untuk mendapatkan skema konservasi yang tepat.

Semoga kolaborasi antara pemangku kepentingan dapat mengurangi dampak bencana bagi masyarakat yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.