Bahaya Mana? Bencana Alam Atau Bencana Akibat Manusia?
Sebagai kelanjutan dari kegiatan roadshow Klinik Konstruksi di Desa Jagalan, Kecamatan Banguntapan, Bantul, Tim meluncur ke Kelurahan Prenggan, Kecamatan Kotagede, Yogyakarta untuk melanjutkan misi pendampingan bersama “dokter konstruksi” dari INTAKINDO.
Kegiatan yang berlangsung di Ruang Pertemuan Kantor Kelurahan Prenggan ini dihadiri oleh 30 peserta yang berasal dari unsur perangkat kelurahan/ kampong di Kel. Prenggan, Kec. Kotagede, Yogyakarta pada Selasa (18/9), serta para penggiat/ pemerhati sektor infrastruktur lingkungan permukiman tingkat RT/RW setempat.
Sesuai dengan permintaan masyarakat, tema yang diusung kali ini yaitu mengenai bangunan/ rumah tahan gempa dan limbah. Hadir sebagai narasumber dalam Klinik Konstruksi yaitu Bapak Budi Prastowo, ST., selaku Kepala Seksi Pengembangan Jasa Konstruksi Balai PIPBPJK DIY, Ibu Warninigsih, ST. M.Kes., yang merupakan tenaga ahli di bidang Kesehatan Lingkungan, serta Bapak Ir. Nufrizal Faried Hanafi, MT., yang merupakan tenaga ahli di bidang Bangunan Gedung.
“Sanitasi merupakan kebutuhan dasar masyarakat, sebagai konsekuensinya, pemerintah harus mendorong terpenuhinya kebutuhan tersebut,” buka Warniningsih. “Namun hingga saat ini akses sanitasi masih belum terpenuhi seluruhnya. Sementara prasarana dan sarana yang terbangun banyak yang tidak berfungsi atau tidak memenuhi persyaratan,” lanjutnya.
Kawasan Kotagede berbatasan dengan Kec. Banguntapan (Kab. Bantul) dan Kecamatan Umbulharjo. Kecamatan yang terletak di jantung Kota Yogyakarta ini terkenal dengan kerajinan peraknya. Hampir sebagian besar warganya bermata-pencaharian sebagai perajin perak.
Bisa dipastikan bahwa industri perak menjadi salah satu penghasil limbah maupun residu terbanyak di kawasan Kotagede. Namun sayangnya, hampir semua perajin perak saat ini belum memiliki pengolahan limbah yang memadai. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan Tim mengusung tema terkait limbah untuk Klinik Konstruksi kali ini.
Meskipun saat ini belum terdapat aturan baku/ pedoman yang bisa dijadikan masyarakat untuk mengelola limbah perak dengan benar, namun ada beberapa cara yang bisa dilakukan masyarakat untuk meminimalisir dampak limbah perak ini. Beberapa upaya perbaikan yang dapat dilakukan bersama oleh masyarakat, diantaranya dengan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) Sektor Kesehatan yang menangani masalah perilaku sehat, serta Program SANIMAS Dinas PU/ BLH yang menangani sarana fisik (pembangunan IPAL).
Selain mengusung permasalahan terkait limbah, Tim juga mengangkat permasalahan terkait bangunan/ rumah tahan gempa. Seperti diketahui, Yogyakarta merupakan daerah yang rawan bencana, salah satunya yaitu bencana gempa bumi.
Seperti dituliskan Widodo Pawirodikromi dalam buletin New Zealand Society for Earthquake Engineering Vol.51 No.2 Juni 2018, Gempa Yogyakarta tahun 2006 meyebabkan lebih dari 5700 korban jiwa dan lebih dari 130.000 bangunan yang rusak.
“Bangunan/ rumah tahan gempa harus memiliki sambungan pertemuan joint yang baik. Selain itu mutu material serta proses pengerjaan juga akan mempengaruhi kualitas bangunan tersebut.” jelas Faried. “Jika masyarakat memenuhi atauran standar/ pedoman pembuatan rumah sederhana tahan gempa, kerugian yang terjadi akibat gempa dapat diminimalisir.” tutupnya.
Selama manusia yang bermukim dan beraktifitas di area tersebut memiliki semangat inisiatif tinggi dan adaptif secara berkelanjutan terhadap karakterisitik lingkungan setempat, efek negatif bisa direduksi dengan signifikan. Baik bencana alam maupun bencana akibat ulah manusia, keduanya memiliki dampak masing-masing. Jadi, lebih bahaya mana? Bencana alam atau bencana akibat manusia? (Dv)